Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam paal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia. Pasal 2792) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 29(2) menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. (SUMBER)
STUDY KASUS :
Jakarta.- Selasa, 6 April 1999. Sidang pembacaan putusan perkara penculikan aktivis digelar di Mahkamah Tinggi Militer.
Sebelas anggota Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat menduduki kursi pesakitan. Mereka diseret ke Mahkamah Militer karena menculik para aktivis. Hukuman yang dijatuhkan hakim militer bagi kesebelas pesakitan tersebut ternyata jauh lebih rendah dari tuntutan oditur militer.
Tentu saja putusan tersebut membuat keluarga para korban penculikan kecewa. Sebab, hukuman itu tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan kesebelas penculik itu. Lebih-lebih Komandan Kopassus Letjen Prabowo Subiyanto dan komandan operasi penculikan Kolonel Chairawan tidak tersentuh hukum.
Korban kejahatan anggota “kelompok baju hijau” tak jarang menuai kekecewaan atas putusan Mahkamah Militer. Seolah-olah tentara bukan warga negara biasa sehingga tidak bisa diseret ke peradilan umum jika melakukan kejahatan. Hal inilah yang mendorong wacana agar anggota “korps baju hijau” diadili di peradilan umum jika melakukan kejahatan. Tujuannya menjamin persamaan perlakuan terhadap setiap warga negara di depan hukum.
Menurut Program Manajer Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Donny Ardyanto, wacana hukum yang berkembang di Indonesia saat ini masih menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai warga “kelas satu”. Wacana seperti ini membuat program reformasi TNI tidak berwujud nyata.
“Reformasi sektor keamanan, dalam hal ini reformasi tentara khususnya, itu juga bagaimana kemudian mereka sebenarnya. Kita juga tidak mau semata-mata menempatkan suatu bentuk supremasi sipil. Sebagai sesama warga negara, mereka punya hak dan kewajiban yang sama. Terutama dalam prinsip hukum equality before the law. Itu yang harus diutamakan. Siapa pun elo, kalau misalnya elo melanggar, harus diperlakukan sama. Nggak boleh, kalau dia tentara diadili oleh tentara. Kalau begitu ya nggak ada bukti konkretnya soal rencana reformasi sektor keamanan, apa reformasiTNI segala macam,” ujarnya.
Senada dengan Donny, juru bicara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, Faisal Putera, mengingatkan bahwa berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka, tindak pidana yang dilakukan oleh militer harus diadili di peradilan umum. Oleh karena itu, Faisal menginginkan agar anggota TNI yang melakukan kejahatan di Aceh diadili di peradilan umum.
“Bahwa di dalam MoU itu tegas dikatakan kejahatan sipil yang dilakukan oleh militer itu akan diadili di peradilan sipil. Nah, ini harus jelas dituangkan di dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh kelak. Dengan tanpa menunggu adanya Undang-Undang Peradilan Militer,” tandas Faisal.
Korban tindak pidana oleh tentara boleh jadi semakin putus asa. Pasalnya, para wakil rakyat yang berkantor di Senayan tidak kunjung merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Militer.
RUU itu diharapkan menjadi dasar reformasi peradilan militer. Menurut RUU itu, serdadu yang melakukan kejahatan tidak akan lagi diadili di Mahkamah Militer, tetapi di peradilan umum. Hal itu untuk menjamin terciptanya salah satu pilar negara hukum, yakni persamaan perlakuan di depan hukum bagi setiap warga negara.
Namun, harapan itu sirna begitu saja ketika Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan bahwa tentara yang melakukan kejahatan akan tetap diadili di Mahkamah Militer.
Di tengah-tengah keinginan untuk menciptakan kesamaan derajat di depan hukum, mantan Deputi III Badan Intelijen Negara (BIN), Muchar Yara, justru berpikir sebaliknya.
Menurut dia, permasalahan terletak pada Undang-Undang Peradilan Militer. Dia menjelaskan, undang-undang tersebut tidak menyatakan bahwa militer yang melakukan tindak pidana harus diadili di peradilan umum. Namun, jika tindak kejahatan itu dilakukan bersama-sama dengan orang sipil, maka pelakunya diadili di peradilan koneksitas, yakni peradilan gabungan yang terdiri atas hakim dan jaksa dari unsur sipil dan militer.
“Undang-undang peradilan militer di sana dikatakan bahwa setiap prajurit, pokoknya setiap tentara aktif, apabila melakukan tindak pidana, itu tidak dijelaskan tindak pidana apa militer atau umum, maka tunduk kepada undang-undang peradilan ini. Kecuali, ada kecualinya, apabila tindak pidana itu dilakukan bersama-sama dengan orang-orang sipil, maka itu ditangani oleh hukum acara koneksitas,” katanya.
Mantan Kepala Biro Hukum Departemen Pertahanan Brigadir Jenderal Purnawirawan Parlaungan Lumban Toruan Sihombing berpendapat, substansi permasalahannya terletak pada Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 1999.
Ketetapan tersebut, kata dia, tidak menjelaskan secara detail mengenai pidana militer. Sehingga, tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI harus tetap diadili di peradilan militer. Selain itu, dia juga masih meragukan kinerja kepolisian dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan militer.
“Katakan di Irian gitu ya, terus daerah operasi itu di hutan, terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh tentara, siapa yang menyidik? Apakah polisi akan mengikuti operasi tentara?”
Penerapan peradilan koneksitas bagi tentara yang melakukan kejahatan bersama-sama penduduk sipil bukanlah jawaban untuk menciptakan kesamaan perlakuan di depan hukum.
Firmansyah Arifin, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, mengatakan jika hukum acara koneksitas diberlakukan maka akan memberikan celah bagi militer untuk membentuk peradilan sendiri. Seharusnya penyelesaian hukum yang tepat berpuncak pada Mahkamah Agung.
“Peradilan militer dengan persoalan koneksitas itu menjadi bagian dari reformasi TNI secara keseluruhan. Jadi, kalau diposisikan total seperti itu, maka menjadi sikap atau langkah mundur. Seharusnya, tentunya memang harus didorong sesuai dengan satu prinsip kekuasaan yang berpucuk pada Mahkamah Agung,” katanya.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru menerapkan sistem peradilan satu atap. Semua lembaga peradilan, baik peradilan umum, peradilan militer, maupun peradilan agama harus bernaung di bawah Mahkamah Agung. Tujuannya adalah menciptakan independensi lembaga peradilan, agar pengadilan mampu memutus setiap perkara tanpa campur tangan kekuasaan di luar bidang yustisi.
Jika peradilan militer tetap dipisahkan dari Mahkamah Agung, tidaklah mungkin menciptakan mahkamah militer yang independen. Hakim militer tidak akan mampu memutus perkara secara independen jika masih bernaung di bawah Tentara Nasional Indonesia.
Beranikah hakim militer menghukum anggota TNI yang pangkatnya lebih tinggi?
(SUMBER)
OPINI : Kesamaan derajat di depan hukum harus diterapkan di negara kita. Karena, pengadilan di negara kita masih pandang bulu. Kita harus menyamakan derajat semua orang di depan hukum, siapapun dia. Agar terciptanya negara yang adil.
2. Pasal-pasal UUD 1945 Tentang Persamaan Hak
Pasal 1 : "Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikarunia akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan".
Pasal 2 ayat 1 : "Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apapun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran ataupun kedudukan."
Pasal 7 : "Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditunjukan kepada perbedaan ini".
(Sumber : Buku MKDU Ilmu Sosial Dasar Oleh: Harwantiyoko, Neltje F. Katuuk Penerbit Gunadarma)
STUDY KASUS :
Masa depan Amerika Serikat, dan keberhasilan dalam menghadapi badai krisis dan keterpurukan ekonomi, tergantung dari kerjasama antar warga Amerika itu sendiri. Dalam pidatonya, Obama meminta tidak ada lagi perbedaan hak berdasarkan ras, dan juga gender.
Selain itu ia mengharapkan agar semua tetap menjunjung nila-nilai mulia, seperti kejujuran, kesetiaan, kerjasama, saling menghargai, dan juga membangun toleransi.
"Saat ini adalah era dimana dituntut tanggung jawab dan pengakuan dari semua warga Amerika di manapun mereka berada. Bahwa kita punya tugas, untuk diri kita sendiri, bangsa kita, dan juga dunia."
Untuk menghadapi segala rintangan, akibat kesenjangan yang ada, Presiden Obama mengajak seluruh warga tidak lagi mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Agar satu sama lain, dapat saling mengingatkan jika mengetahui adanya bahaya yang akan mengganggu kemerdekaan negara.
"Inilah harganya, dan janji dari seluruh warganegara, yang menjadi sumber kepercayaan diri, seperti pernyataan Tuhan mengenai takdir mutlak arti kemerdekaan, termasuk laki-laki, perempuan dan anak-anak dari ras apapun, dan keyakinan apapun dapat bersatu di dunia yang menakjubkan ini."
Dalam pidatonya, Obama juga menambahkan agar semangat dan harapan ini bisa terus dibawa, untuk mewujudkan dunia baru yang lebih baik. (SUMBER)
OPINI : Dengan adanya persamaan hak, tidak ada lagi perbedaan. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk diwujudkan oleh negara. Oleh karena itu kita harus menghapuskan perbedaan yang ada.