October 20, 2010

Kelompok 3

1. Peranan Sosial Mahasiswa dan Pemuda Di Masyarakat

Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat penderitan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya.

Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.

STUDY KASUS :

Di Kalimantan Barat pada tahuan 1998 s/d 2000 pernah terjadi gelombang pengungsian besar – besaran akibat konflik sosial di daerah ini maka mahasiswa musti ikut memperhatikan masalah ini dengan memberikan bantuan baik secara moril maupun meteril serta pemikirannya serta ikut mencarikan solusi penanganan bencana kemanusiaan ini , Betapa peran sosial mahasiswa jauh dari pragmatisme ,dan rakyat dapat merasakan bahwa mahasiswa adalah bagian yang tak dapat terpisahkan dari rakyat, walaupun upaya yang sistimatis untuk memisahkan mahasiswa dari rakyat telah dan dengan gencar dilakukan oleh pihak – pihak yang tidak ingin rakyat ini cerdas dan sadar akan problematika ummat yang terjadi.


OPINI : Kita sebagai mahasiswa atau pemuda harus bisa bersosialisasi dalam masyarakat dan mampu memberikan contoh yang baik untuk masyarakat. Dan mampu menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah, tetapi tidak dengan cara yang anarkis. Kini perananan tersebut sudah menurun drastis, karena pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan dan selalu mementingkan diri sendiri.


2. Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda

Maksud dari pola pembinaan dan pengembangan generasi muda adalah agar semua pihak yang turut serta dan berkepentingan dalam penanganannya benar-benar menggunakan sebagai pedoman sehingga pelaksanaanya dapat terarah, menyeluruh dan terpadu. Serta dapat mencapai sasaran dan tujuan yang dimaksud.

Pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda disusun berlandaskan :
  1. Landasan idiil : Pancasila
  2. Landasan konstitusional : UUD 1945
  3. Landasan Strategis : Garis-garis besar haluan negara
  4. Landasan historis : Sumpah pemuda tahun 1928 dan Proklamasi kemerdekaan
  5. Landasan normatif : etika, tata nilai dan tradisi luhur yang hidup dalam masyarakat
(Sumber : Buku MKDU Ilmu Sosial Dasar Oleh: Harwantiyoko, Neltje F. Katuuk Penerbit Gunadarma)

STUDY KASUS :

PENGEMBANGAN SOFT SKILLS DALAM PENINGKATAN MUTU PERGURUAN TINGGI

Pendahuluan Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kemajuan manusia. Kegiatan ini pada dasarnya melibatkan beberapa pihak diantaranya untuk perguruan tingggi yaitu: pendidik (Dosen) dan peserta didik
(Mahasiswa). Keterlibatan pihak tersebut merupakan keterlibatan hubungan antar manusia (human interaction) yang mempunyai potensi masing-masing sebagai aset nasional sekaligus modal dasar pembangunan bangsa.Potensi yang
ada tersebut harus dapat dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah serta terpadu, yang dikelola secara serasi dan seimbang. Oleh karena itu, strategi pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan potensi intelektual maupun bakat khusus yang bersifat keterampilan termasuk soft skills
Konsep soft skills sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep kecerdasan emosional. Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan tekhnis dan akademis dan sudah dibangun sejak kecil (didikan lingkungan dan keluarga) yang lebih mengutamakan keterampilan intra dan interpersonal, yaitu keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri yang mampu mengembangkan produktifitas kerja secara maksimal. Selama ini pemberian soft skill untuk beberapa perguruan tinggi sering terabaikan. Sebagai bahan kajian, kami memberikan sebuah contoh kecil yang dihadapi dosen dan mahasiswa sehari-hari di sebuah perguruan tinggi di Kota A, dimana perguruan tinggi tersebut didominasi oleh mahasiswa yang sudah bekerja (90%).
Umumnya tujuan mahasiswa kuliah hanya mencari ijazah sebagai penunjang karir ke depan. Hal ini dapat dilihat dari mahasiswanya yang tidak tepat waktu masuk perkuliahaan dengan alasan kerja dan di tambah dengan opini mahasiswa ketika memilih untuk masuk perguruan tinggi sebagai pilihan ke dua untuk penunjang karir. Ironisnya beberapa dosenpun ikut mengamini keterlambatan mahasiswa tersebut yang akhirnya dosenpun jadi terlambat masuk kuliah. Ketika awal-awal dosen memasuki ruangan ternyata mahasiswa tidak ada dan ini terulang untuk beberapa
kali pertemuan sehingga dosen menjadi jenuh, kemudian kebiasaan mahasiswa menyontek ketika ujian berlangsung, masih terbatasnya kemampuan mahasiswa dalam mengungkap ide atau gagasan-gagasan mereka, kurangnya
keinginan atau motivsi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan.
Dari dosen sendiripun juga belum mendukung pengembangan soft skills, dan ini dapat dilihat dari keterlambatan dosen dalam perkuliahaan, belum seriusnya dosen dalam pengecekan tugas mahasiswa dan adanya kesan dari dosen bahwa etika dan moral adalah tugasnya dosen yang mengajarkan mata kuliah agama, pancasila, kewarganegaraan, dan sebagainya. Jika masalah
kecil yang ditemui sehari-hari dalam perkuliahaan ini dibiarkan berlarut, maka akan menjadi masalah yang besar yang pada akhirnya akan menjadi suatu budaya yang buruk bagi kelangsungan dunia pendidikan. Padahal diketahui bahwa masalah diatas termasuk soft skill yang akan berpengaruh besar terhadap mahasiswa dan dosen kedepan karena dari hasil penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa orang-orang yang sukses di dunia, 82 % ditentukan oleh soft skills, keterampilan emosional dan sejenisnya. Di perguruan tinggi, dosen adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh untuk mendiseminasikan soft skill pada para mahasiswa, dosen harus bisa menjadi living example. Dari mulai dating tepat waktu, pemberian metode pembelajaran, mengoreksi tugas, penanaman etika, penampilan menarik dan
sebagainya. Dosen juga harus bisa melatih mahasiswa supaya asertif, supaya berani membicarakan ide. Begitu juga dari kalangan mahasiswa yang tidak hanya pintar akademik tetapi juga disiplin, beretika, dan sebagainya. Untuk itu dalam rangka mengoptimalkan pengembangan soft skill terutama diperguruan tinggi yang didominasi pekerja perlu dilakukan beberapa upaya nyata, di antaranya: pertama, penyusunan program pengembangan soft skill secara sistematis, yang termuat dalam buku pedoman peraturan perguruan tinggi yang bersangkutan, dalam proses pembelajaran, metode pembelajaran, kurikulum pendidikan, kedua, diadakannya kebijakan yang melegalisasi
pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan yang berbasis soft skill. Pengalaman penulis memang berbeda ketika mengajar mahasiswa yang mayoritas bekerja dengan mahasiswa yang tidak bekerja. Persoalan pertama adalah merubah atau memperbaiki niat awal dari mahasiswa pekerja tentang tujuan kuliah yang disampaikan ketika kontrak perkuliahaan diawal pertemuan tatap muka dan secara kontinyu dosen wajib menyelipkan nilai moral dalam
perkuliahaan. Hal ini penulis ungkapkan karena berpengaruh terhadap disiplin dan kejujuran mahasiswa. Sering alasan mahasiswa terlambat karena pekerjaan. Adanya perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Pembelajaran inovatif memiliki keragaman model pembelajaran yang menuntut partisipasi aktif dari mahasiswa.

Metode-metode tersebut diantaranya adalah:
  • Berbagi informasi (Information Sharing) dengan cara curah gagasan (brainstorming), kooperatif, kolaboratif, diskusi kelompok (group discussion), diskusi panel (panel discussion), simposium, dan seminar;
  • Belajar dari pengalaman (experience based) dengan cara simulasi, bermain peran (roleplay), permainan (game), dan kelompok temu;
  • Pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving based) dengan cara studi kasus, tutorial, dan lokakarya. Melalui proses pembelajaran dengan
keterlibatan aktif mahasiswa, ini berarti dosen tidak mengambil hak mereka untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya.

OPINI : Menurut saya mata kuliah softskill sangat membantu kita dalam mengembangkan keterampilan kita. Sehingga kita dapat mengatur diri sendiri dan mengembangkan produktifitas kerja secara maksimal.